Jumat Agung bukan sekadar hari dalam kalender umat Kristen. Ini adalah momen hening, di mana langit seakan ikut bersedih, dan bumi menunduk menyaksikan kisah cinta paling agung yang pernah ada: kematian Yesus Kristus di kayu salib.

Bukan Kekalahan, Tapi Kemenangan Dalam Diam

Di mata dunia, penyaliban Yesus mungkin tampak seperti akhir yang tragis. Ia dicambuk, dihina, ditelanjangi, lalu dipaku di atas kayu salib. Ia menderita bukan karena kesalahan-Nya, tapi karena kasih-Nya. Kasih yang memilih diam saat dituduh, kasih yang tetap memberi pengampunan saat dilukai.

Namun justru dalam penderitaan itu, ada kemenangan yang pelan-pelan terungkap. Salib yang dulu lambang hukuman, kini berubah menjadi simbol pengharapan. Di atas kayu itu, dosa dan kematian dikalahkan. Dan semua dimulai dari satu kata: pengorbanan.

Saat Langit Gelap dan Tirai Bait Allah Terbelah

Kitab suci mencatat, ketika Yesus menghembuskan napas terakhir-Nya, langit menjadi gelap selama tiga jam. Tirai Bait Allah terbelah dari atas ke bawah—tanda bahwa batas antara manusia dan Allah telah dihapus.

Tak ada lagi tembok pemisah. Melalui kematian-Nya, Yesus membuka jalan bagi siapa saja untuk datang langsung kepada Allah. Dengan luka-Nya, kita disembuhkan. Dengan kematian-Nya, kita memperoleh hidup.

Jumat yang Sunyi, Tapi Penuh Makna

Jumat Agung bukan tentang kesedihan tanpa harapan. Ia mengingatkan kita bahwa bahkan di tengah penderitaan, ada kasih yang tidak tergoyahkan. Bahkan dalam kematian, ada rencana yang jauh lebih besar sedang bekerja.

Hari itu, Yesus diam. Tapi salib-Nya bersuara—mengabarkan cinta yang tidak bisa dibungkam.


Jumat Agung adalah undangan bagi kita semua untuk berhenti sejenak, menunduk, dan merenung: adakah kasih yang lebih besar dari ini?

By candra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *